RAHMATAN LIL 'ALAMIIN

#COPAS

( Biarpun lo kata "Muwathin".. tetep gua kata "Kaafir" )

RAHMATAN LIL 'ALAMIIN

Jangan jadikan Rahmatan lil 'alamin itu menjadi terkesan Rahmatan lil Kafirin.
Karena yg benar "Ruhamaau bainahum, Asyiddaau 'alal kuffar"  BUKAN "Ruhamaa bainahum Asyiddaau 'alal Muslim"
====================

“Kita akan memukul Islam radikal dengan Islam moderat.”

–Mitterran, mendiang Presiden Perancis-
Orang Timur melihat nabi Muhammad lemah lembut lalu menyerukan, “Islam agama damai.” Maka damailah sentosa selama-lamanya.

Orang Barat melihat nabi Muhammad menghunus pedang lantas menyebarkan pesan, “Islam agama perang.” Maka diperangilah Islam selama-lamanya.

Sedangkan orang Selatan melihat nabi Muhammad mengangkat piagam Madinah, mengutip sebagaian ayat kemudian berkesimpulan, “Pada hakekatnya semua agama sama.” Maka dibuatlah ‘kitab suci’ Lintas Agama, dipuja selama-lamanya. ( yg ini faham lah ya.. :-D )

Sementara itu, orang Utara serta merta tertawa.. “Apa saya bilang, biang konflik adalah Agama!” Maka berbondong-bondonglah manusia membanting atribut agamanya. Selama-lamanya.
***
Rasa-rasanya kita sekarang hidup seperti di zaman nabi Nuh a.s.. Sama-sama ‘megap-megap’ dihantam bencana banjir. Bedanya, jika umat nabi Nuh dihajar banjir air bah, maka umat saat ini ditenggelamkan oleh banjir fitnah.
Di antaranya fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Dikatakan syahwat sebab batas aurat menjadi lebih irit, dan disebut syubhat sebab benar dan salah, baik dan buruk, tak ubahnya seperti tebak-tebakan dahulu mana telor dan itik. Tiada yang dapat menyelamatkan umat manusia kecuali perahu nabi Nuh a.s. –atas izin Allah-, dan tiada yang dapat menyelamatkan umat nabi Muhammad Saw. selain ‘perahu’ Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semoga kita berada di atasnya, Allahu al-Musta’an.

Suatu ketika saya diundang sebagai pembicara-pembanding dalam bedah buku bertemakan Jihad. Dalam forum yang dipenuhi peserta heterogen itu, saya melontarkan pertanyaan, “Islam agama perang atau agama damai ?” Mayoritas menjawab, agama damai. Selebihnya diam. Maka saya katakan, siapa yang mengajari jawaban seperti itu ? Lebih lanjut, siapa yang mencetuskan pertanyaan menyesatkan semacam itu ?

Yang perlu dipahami adalah bahwa tak selamanya pertanyaan perlu dijawab. Dapatkah – Allah – menciptakan – batu – besar – hingga – Dia – sendiri – tak – mampu – mengangkatnya; adalah pertanyaan DUNGU yang tak boleh dijawab. Dijawab malah sesat, dibuat mainan bisa murtad (At-Taubah, 65-66). Kaidahnya, setiap pertanyaan yang salah, pasti melahirkan jawaban yang salah pula. Maka saya menjelaskan, bahwa perang dan damai merupakan bagian dari hukum Islam. Dengan demikian perang dan damai merupakan sama-sama hukum Syara’ yang ditujukan untuk menyelesaikan problem yang terjadi di antara manusia. Dan perang, adalah merupakan jalan yang ketika solusi damai sudah mencapai titik buntu, sehingga perang sendiri pun sesungguhnya merupakan jalan untuk meraih damai.
Mendengar penjelasan itu, tak pelak seorang penanya yang tampaknya liberal, merasa berang dan menunjuk saya tekstualis, radikalis. Alasannya, karena agama Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin.
Kita menjadi seperti lumrah bahwa sebagian (untuk tidak mengatakan banyak) masyarakat kita, biasa mengartikan akhlaqul karimah sebagai tingkah laku yang menihilkan sikap keras, sebaliknya ia kerap diartikan [hanya] sebagai sikap welas, bahkan cenderung memelas. Islam itu hikmah, dan hikmah adalah sikap lemah lembut dan selalu mengalah. Islam itu toleran, tak perduli terhadap ‘keberagaman’ atau ‘kesesatan’. Inilah rahmatan lil ‘alamin, katanya. Ketika ditanya dalil, serempak mereka teriak, “Bukankah Rasulullah dulu pernah diludahi Yahudi, tapi beliau tidak membalas ? Bukankah Rasulullah dulu pernah dicekik di depan Baitullah dan dilempar kotoran unta, dan tidak membalas ?”
Akhirnya, “ludah Yahudi” dan “kotoran unta” ini memehuhi mata dan telinganya sehingga tak dapat lagi melihat dan mendengar derita dan rintihan kaum Muslimin. Lehernya seakan “dicekik” sehingga tak dapat lagi bersuara membela agamanya dari segala bentuk penyesatan dan penistaan. Apakah mereka tak mengerti, bahwa sikap Rasulullah di atas adalah karena belum ada perintah perang dan masih tahap menahan diri ? Dan mestinya mereka juga mengerti, apakah ludah Yahudi dan kotoran unta merupakan sebuah “hadiah” dan “ucapan terimakasih” karena mereka telah menyukai sikap lembut dakwah Nabi?
Ini juga perlu dimengerti: Rasulullah berucap saat geraham beliau pecah dan wajahnya penuh darah di perang Uhud, “Celakalah kaum yang melukai Rasul yang diutus kepada mereka …”; Rasulullah berqunut nazilah dan berdoa, “Ya Allah, kutuklah si anu… dan si anu…”; Rasulullah juga pernah bersumpah saat mengetahui provokasi Abu Jahal kepada orang Quraisy untuk berbuat makar, “Sungguh benar-benar aku akan membunuh mereka …”; Dan Rasulullah pun pernah menjalankan 77 kali operasi Jihad, di antaranya dipimpin salah seorang Sahabat yang beliau pilih dan sebanyak 28 kali beliau pimpin sendiri.
Maka apakah kemarahan, doa, ancaman dan peperangan Nabi sebagaimana di atas bukanlah bagian dari akhlaqul karimah ? Padahal telah kita pahami bahwa akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an, sementara dalam Al-Qur’an terdapat [juga] ayat-ayat yang mewajibkan perang. Maka ketahuilah bahwa semua bentuk perkataan, perbuatan dan persetujuan (taqrir) Nabi adalah “hikmah”, adalah “rahmatan lil ‘alamin”, adalah “akhlaqul karimah”.
Tentang damai, mari kutunjukkan padamu Sirah Rasulullah Saw.. Selama 13 tahun berada di Makkah, Rasulullah dan para Sahabat tertindas, belum mengenal kata damai. Keberadaan beliau menuai ancaman, intimidasi dan siksaan. Kebrutalan orang-orang kafir hanya dihadapi dengan kesabaran, sampai turunlah perintah hijrah sebab belum ada perintah perang (An-Nisa’, 77).
Setelah beliau hijrah ke Madinah dan mendirikan Daulah, barulah ikatan perjanjian damai dilakukan dengan penguasa-penguasa lain baik Yahudi, kaum Quraisy, maupun kabilah-kabilah yang lainnya. Selama masa perjanjian damai, kaum Muslimin senantiasa memenuhi apa yang mereka janjikan, namun orang-orang kafir berkhianat.
Awalnya adalah Yahudi Bani Nadhir. Mereka diam-diam berencana hendak membunuh Nabi Saw.. Akibatnya mereka diusir dari perkampungan mereka (Al-Hasyr, 2-5).
Lalu Yahudi Bani Qunaiqa’. Mencari gara-gara dengan melecehkan Muslimah di pasar, menarik jilbabnya hingga terlihat auratnya. Mereka cepat-cepat diperangi dan diusir dari Madinah.
Setelah itu Yahudi Bani Quraidhah. Mereka bersekongkol dengan kafir Quraisy untuk menyerang kota Madinah. Mereka pun kemudian diperangi; laki-laki dewasa mereka dibunuh, wanita dan anak-anak dijadikan tawanan, sedangkan harta benda mereka sebagai harta rampasan perang (ghanimah).
Adapun bentuk perdamaian yang lainnya adalah berupa diizinkannya orang kafir hidup damai di bawah naungan pemerintahan Islam sebagai ahludz dzimmah. Bagi laki-laki dewasa yang mampu maka diwajibkan membayar jizyah setahun sekali, dan tidak membebaninya terlalu tinggi, bahkan lebih tinggi pembayaran zakat oleh kaum Muslimin. Tujuan pembayaran jizyah tidak dalam rangka memeras mereka dan bukan pula untuk memperkaya pemerintah, tetapi sebagai wujud pengakuan dan ketaatan mereka terhadap pemerintahan Islam serta imbalan atas jaminan keamanan terhadap darah maupun harta mereka (At-Taubah, 29).
Dan mengenai ayat, “Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107), Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa, ”Maksudnya, Allah mengutus beliau sebagai rahmat bagi mereka semua. Siapa yang menerima dan mensyukuri rahmat ini, maka dia mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sebaliknya siapa yang menolak dan mengingkarinya, maka dia mendapatkan kerugian di dunia dan akhirat.”
Suatu ketika Salman bercerita kepada Hudzaifah, “Wahai Hudzaifah, sesungguhnya Rasulullah Saw. di saat marah beliau mengatakannya (dengan nada marah), dan di saat ridha beliau pun mengatakan (dengan nada ridha). Sungguh engkau mengetahui bahwa Rasulullah Saw. pernah menyampaikan khutbah seraya bersabda, ‘Siapapun orangnya dari umatku yang aku caci dalam keadaan marah, atau aku melaknatnya dengan suatu laknat, maka sebenarnya aku adalah seorang dari anak keturunan Adam, aku marah sebagaimana kalian marah. Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ya Allah, maka jadikanlah cacian atau laknat tersebut sebagai rahmat baginya pada hari Kiamat.’” (HR. Ahmad)
Itulah Rasulullah Saw.. Beliau menempatkan damai dan toleransi pada tempatnya, kemarahan dan perang pada waktunya. Namun kini di negeri kita yang Binneka Tunggal Ika ini, suka salah alamat menempatkan damai kepada pemimpin Negara penjajah, serta salah amanat memberikan toleransi kepada penyesatan dan pemurtadan. Dasarnya adalah HAM dan Demokrasi. Maka tak ragu lagi, bahwa keduanya adalah rahmatan lil kafirin.
Sebagai kesimpulan, saya katakan damai itu tidak selamanya baik. Sebab ‘damai di tempat’ itu 20.000 (uang sogok), dan damai ketika hak Allah dan kaum Muslimin dirampas adalah pengkhianatan yang berbuah kecaman, ancaman. Maka berlaku adil sebagaimana yang sudah dicontohkan Rasulullah Saw. adalah kesempurnaan, kemuliaan. Itulah Islam, rahmatan lil ‘alamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Menjadi Murid Yang Durhaka

RIBA DALAM ARISAN

Apa itu KHILAFAH ?