MEMAHAMI GERAKAN SALAFI DARI SISI HISTORISNYA
MEMAHAMI GERAKAN SALAFI DARI SISI HISTORISNYA
Istilah Salafi sebagai sebuah kelompok digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo tatkala hendak membangun gerakan pembaharuan di Mesir. Di tangan Abduh, istilah Salafi sedikit mengalami pergeseran makna yang dikaitkan dengan semangat pembaharuan dan pemurnian. Di sini Salafi dimaksudkan untuk kembali pada pemahaman generasi awal islam, yaitu Nabi Muhammad saw, Sahabat, Tabiin, dan Tabiut Tabiin
Gerakan pemurnian yang lain, khususnya Wahabi, ternyata pada mulanya tidak menggunakan istilah ini. Mereka mengkampanyekan pemurnian ajaran dengan merujuk langsung pada al-Qur’an dan as-Sunnah dengan model pemahaman yang literal. Di Indonesia, Muhammadiyah dan Persis yang juga mengusung tema pemurnian ajaran, juga tidak menggunakan istilah Salafi. Walaupun ketiganya sama-sama menggeluti isu-isu bid’ah, kurafat dan sejenisnya.
Istilah Salafi kemudian dipopulerkan kembali oleh Nashiruddin Al-bani pada dekade 1980-an di Madinah. Jamaahnya kemudian dikenal dengan al-Jamaah al-Salafiyyah al-Muhtasib. Hampir sama dengan wahabi, salafi yang dimaksudkan Albani adalah suatu gerakan untuk memurnikan kembali ajaran Islam dengan mengedepankan kampanye pembasmian terhadap segala sesuatu yang dianggap bid’ah.
Albani tidak menggunakan nama wahabi dikarenakan istilah ini dianggap kurang tepat. Di dalamnya terkesan ada pemujaan terhadap tokoh. Di samping itu, salafi yang dimaksudkan tidak sama persis dengan wahabi resmi pemerintah Arab Saudi. Perbedaannya, salafi menegaskan atau menolak semua pemikiran mazhab, sedangkan wahabi Arab Saudi lebih cenderung pada model pemikiran mazhab Hambali (kendati tidak pernah diakui secara resmi).
Pemurnian yang diusung oleh Al-Bani memang tidak begitu berbeda dengan pemurnian yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab pada abad 13. Mereka sama-sama prihatin terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam.
Karena semangat tekstualisme yang sangat kuat itulah maka boleh dikatakan, gerakan salafi sekarang ini adalah bentuk lain dari wahabisme namun dengan pendekatan yang lebih radikal. Gerakan ini tidak mengenal organisasi secara resmi. Mereka mengembangkan gerakan dengan instrumen hubungan guru-murid yang setia. Dalam hubungan yang bersifat personal dan penuh ketaatan ini Salafi ke berbagai penjuru dunia.
Konteks Politik Gerakan Salafi Wahabi dan Lahirnya Salafi Jihadis
Pandangan wahabi sebagaimana disinggung di muka, pada awalnya hanya berkembang di Arab Saudi dan sebagian wilayah Timur Tengah, seperti Yaman dan Yordania. Paham ini kurang mampu berkembang luas di dunia muslim karena karakter pemahaman wahabi atau salafi yang kadang tidak bisa berkompromi dengan berbagai mazhab di belahan dunia muslim lainnya.
Krisis politik dalam negeri Arab Saudi tampaknya menjadi titik krusial bagi perkembangan gerakan wahabi. Dominasi wahabi salafy mulai dipertanyakan setelah gerakan Al-sahwa al-Islamiyyah mulai berkembang di sejumlah universitas Arab Saudi.
Akar-akar gerakan ini dapat ditelusuri dari tahun 1960-an ketika pemerintah Saudi membuka peluang bagi para aktifis Islam untuk tinggal di Saudi. Para aktivis Islam yang melarikan diri ke Saudi kebanyakan adalah para aktivis Ikhwanul Muslimin dari Mesir dan Suriah.
Pemerintah menampung mereka untuk mengelola berbagai lembaga pendidikan di Arab Saudi yang saat itu kekurangan tenaga pengajar. Sikap ini sekaligus sebagai strategi “perlawanan” Arab Saudi” terhadap kelompok Gamal Abdul Naser di Mesir dan partai Baath di Irak.
Pada mulanya aktivis Ihwanul Muslimin yang mengajar di universitas Arab Saudi memang tidak menunjukkan tanda perlawanan terhadap kerajaan. Mereka satu pemikiran dengan paham wahabi terutama dalam hal ibadah dan tauhid. Namun, perhatian dalam dunia politik (sikap kritis terhadap penguasa) yang dimiliki oleh akitivis Ikhwan adalah titik awal perbedaan mereka dengan ulama-ulama wahabi.
Simpang jalan Wahabi dengan as-Sahwah al-Islamiyah mulai terasa saat Juhayman al-Utaybi pada tahun 1979 mengambil alih Masjidil Haram di Mekkah. Kendati gerakan ini mudah ditumpas, namun sikap kritis Juhayman terhadap gaya hidup Barat dan penolakannya terhadap politik Arab Saudi yang pro Amerika Serikat secara perlahan menimbulkan simpati terutama di Universitas Islam Madinah.
Menyadari akar gerakan di kampus, maka raja kemudian berusaha menekan mereka. Cara yang ditempuh, salah satu di antaranya adalah memperkuat posisi ulama wahabi. Hal ini dimaksudkan agar lembaga keulamaan wahabi akan mampu mengkooptasi kalangan as-sahwah al-Islamiyah. Usaha ini tentu saja tidak mudah mengingat pengaruh Ikhwan sudah cukup kuat di kampus. Cara lain adalah mengganti guru-guru di universitas. Mereka yang berpaham Ikhwan segera diganti dengan yang berpandangan wahabi.
Sikap pemerintah tersebut tampaknya disambut antusias oleh kalangan ulama Wahabi. Tampaknya, ulama Wahabi juga merasakan bahwa gerakan as-Sahwah dianggap telah melenceng. Pasalnya, sikap kritisisme yang artikulatif terhadap penguasa adalah sesuatu “terlarang” dalam paham wahabi. Apalagi mereka mengadopsi gagasan Sayyid Qutub yang dianggap ulama Wahabi sebagai ahlul Bid’ah.
Dalam konteks inilah Nashiruddin Al-Bani berusaha memberikan “perlawanan” terhadap gerakan as-Sahwah dengan mendeklarasikan kembali pentingnya memulai gerakan pemurnian Islam secara lebih radikal. Mereka mengelompokkan diri dalam al-Jama’ah al-Salafiyyah al-Muhtasiba yang dipimpin langsung oleh Nashiruddin Al-Bani di Madinah.
Kelompok salafi ini menolak semua aliran fiqih dalam Islam. Bagi kelompok salafi, aliran fiqih adalah buah pemikiran manusia, karena itu jika ingin beribadah dengan benar maka harus kembali pada Qur’an dan as-Sunnah. Karena sikap ini, Salafi menjadi gerakan yang sangat konservatif, puritan dalam gaya hidup dan belajar agama secara informal di masjid dan universitas yang bukan berbasis as-Sahwah al-Islamiyah.
Dengan kata lain, perhatian salafi lebih diutamakan pada hal-hal yang bersifat keimanan individual, moral dan praktek ritual. Adapun masalah-masalah sosial, budaya dan isu politik mereka kurang memberi perhatian yang kuat. Pada tahun 1980-an itu pula kelompok ini telah menyebar ke Kuwait, Yaman, dan utara Saudi.
Akan tetapi, as-Sahwah dan ulama wahabi kembali bersatu dalam isu jihad Afganistan. Pada awal dekade 1980-an itu, ketika Uni Soviet menginvasi Afganistan, hampir seluruh ulama sepakat untuk mendukung Afganistan secara konkret dengan mem ”fardlu ain” kan. Atas kesepakatan ulama ini pula, Abdullah Azzam berangkat ke Afganistan.
Dukungan terhadap Afganistan, ternyata bersesuian dengan kepentingan internasional Arab Saudi. Keterlibatan Iran dalam konflik Afganistan telah dianggap sebagai ancaman serius bagi hegemoni tidak langsung Arab Saudi dalam dunia Muslim. Bagaimanapun keterlibatan Iran dianggap manifestasi kepentingan mengekspor pandangan syiah di dunia muslim lainnya. Sesuatu yang akan mengancam hegemoni Arab Saudi. Karena itulah, Saudi memberikan perlawanan politik terhadap sikap Iran dengan berusaha membantu Afganistan secara material dan tenaga jihad.
Pada masa perang Afganistan, as-Sahwah mengalami perkembangan yang sangat penting. Kelompok ini semakin mendekatkan diri pada pemikiran Sayyid Qutub guna memompa semangat jihad. Lahirlah kemudian penyerbukan gagasan antara pemikiran Ikhwanul Muslimin (Sayyid Qutub) dengan pemikiran wahabi. Perkawinan gagasan ini kemudian melahirkan paham Salafi Jihadi.
Atas kecenderungan ini, Salafi di bawah ajaran Nashiruddin Al Bani dan Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentu saja menentangnya. Mereka mulai mengecam para jihadi sebagai jihad yang tidak murni, keluar dari “rel salafi”. Perselisihan ini tidak pernah terselesaikan sehingga kedua kelompok akhirnya mengambil jalan masing-masing. Simpang jalan pun terjadi. Hal ini semakin dikuatkan tatkala Arab Saudi mulai mengurangi dukungannya seiring penarikan pasukan Uni Soviet di Afganistan.
Simpang jalan kembali terjadi dan sulit dipertemukan kembali. Sejak saat ini, gerakan salafi terbelah dalam dua garis besar. Pertama, Salafi puritan di bawah Nashiruddin Al-Bani, Bin Baz, Sheh Mugbil dan sebagainya. Kedua, Salafi jihadi yang dipelopori Abdullah Azzam, Mullah Umar dan seterusnya.
Kedua kelompok ternyata saling berkompetisi. Salafi jihadi berkembang seiring dengan luasnya medan jihad seperti di Afganistan dan Asia Tengah hingga Eropa Timur. Sementara itu, salafi puritan juga semakin terdorong meluaskan pengaruhnya pada wilayah yang hampir bersamaan.
Perkembangan Gerakan Salafi di Berbagai Negeri Islam
Gerakan salafi puritan menyebar luas di berbagai belahan dunia sebetulnya relatif baru. Awal dekade 1980-an adalah titik penting awal mula sebaran ajaran salafi puritan. Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, go internasional dari ajaran ini terutama didorong oleh konstelasi dalam negeri Arab Saudi serta perang Afganistan. Dua peristiwa tersebut menandai awal mula lahirnya gerakan salafi puritan pada level internasional.
Bagaimanakah ajaran ini disebarkan? Dalam pola salafi puritan, model jaringan organisasi sebetulnya tidak dikenal. Sebagai gantinya gerakan ini berkembang biak melalui jaringan guru-murid. Di sini tokoh penting yang perlu disebut adalah Nashiruddin Al-Bani dan Sheyh Mugbil di Yaman. Dua guru salafi ini sekarang mempunyai institusi semi-formal yang menjadi pusat perkembangan gerakan salafi.
Pusat utama perkembangan tentu saja Arab Saudi. Universitas-universitas kembali menjadi basis kaderisasi salafi. Akan tetapi, perlu mendapat catatan, tidak semua alumni universitas Arab Saudi menjadi agen penting penyebaran ajaran salafi puritan. Bagaimanapun jejak ajaran Ikhwanul Muslimin masih terasa di sana. Hal ini nantinya terlihat pada alumninya di mana sebagian di antaranya justru menjadi aktivis Ikhwanul muslim di berbagai negara.
Di luar universitas, tempat yang berperan penting adalah halaqoh-halaqoh yang diadakan ulama Wahabi secara informal. Halaqoh inilah yang nantinya menjadi titik penting kaderisasi serta melahirkan jaringan guru-murid. Sayangnya, perkembangan halaqoh salafi di Arab Saudi justru tidak sepesat di Yordan maupun Yaman.
Yordan kini telah menjadi basis penting perkembangan salafi puritan. Kendati Albani memulai gerakan salafi dari Madinah, namun Albani justru mengembangkan salafi puritan secara intensif di tanah kelahirannya. Di sini dia membangun semacam pondok pesantren yang berperan penting dalam kaderisasi dakwah.
Para murid senior Albani kemudian mendirikan Markaz Imam Albani di Aman, Jordania. Mereka adalah Syekh Salim bin Ied Al-hilaly, Syaikh Ali Hasan al-Halaby, Syaikh Muhammad Musa Alu Nashr, Syaikh Masyhur Alu Salman, Syaikh Husain al-Awaisyah. Berkat ketenaran Albani, dalam waktu singkat Markaz mampu menarik minat banyak kalangan dari banyak negara untuk mendalami salafi.
Alumni Markaz Albani sekarang ini telah menyebar ke banyak negara. Mereka umumnya terjun dalam dunia dakwah dengan mengembangkan ajaran salafi puritan. Jaringan komunikasi mereka cukup intensif. Setidaknya telah diadakan beberapa kali pertemuan reuni. Dapat diduga pertemuan tersebut menjadi ajang konsolidasi gerakan salafi. Publikasi penting dari Markaz Imam Albani adalah “Pokok-Pokok Aqidah Salafiyah”. Buku ini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa yang berisi prinsip-prinsip dasar ajaran salafi puritan.
Pusat kedua adalah Pondok Sheyh Muqbil di Dammaj, Yaman. Pondok yang terletak di sebuah desa terpencil ini telah dikunjungi murid dari berbagai penjuru dunia, mulai dari negara Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Kanada, (tentu saja dengan jumlah murid yang lebih sedikit) hingga negara-negara mayoritas sunni, khususnya kawasan Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Asia Tenggara.
Perkembangan salafi puritan makin menemukan momentumnya tatkala pemerintah Arab Saudi secara tidak resmi memberikan bantuan dana bagi operasi dakwah salafi puritan di berbagai penjuru dunia. Bantuan ini umumnya mengalir lewat individual, yayasan ataupun lembaga islam internasional seperti Rabithah dan IIRO.
Untuk Robithoh dan IIRO, aliran bantuannya memang tidak membedakan fraksi dalam salafi. Kedua lembaga ini hanya konsen terhadap perkembangan Islam terutama yang mengusung ideologi Salafi.
Perkembangan Gerakan Salafi di Indonesia
Perkembangan gerakan salafi di Indonesia tidak mungkin dilepaskan dari dinamika internasional sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan boleh dikatakan, dinamika gerakan salafi Indonesia sebagian besar merupakan perpanjangan dari perkembangan internasional.
Sama seperti kecenderungan internasional, gerakan salafi baru muncul di Indonesia pada awal dekade 1980-an. Dorongan utamanya adalah berdirinya lembaga LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab) yang merupakan cabang dari Universitas Imam Muhammad ibn Saud Riyad di Indonesia. LIPIA pertama kali dipimpin oleh Syeikh Abdul Aziz Abdullah al-Ammar, murid tokoh utama salafi Syeikh Abdullah bin Baz.
LIPIA menggunakan kurikulum Universitas Riyad, staf pengajarpun didatangkan langsung dari Saudi. Salah satu yang membuat banyak mahasiswa tertarik belajar di LIPIA, karena LIPIA menyediakan beasiswa berupa uang kuliah dan uang saku. Lebih dari itu, LIPIA juga menjanjikan para alumninya untuk bisa melanjutkan tingkat master dan doktoral di Universitas Riyad di Saudi.
Alumni LIPIA angkatan 1980-an, kini menjadi tokoh terkemuka di kalangan salafi. Diantaranya adalah Yazid Jawwas, aktif di Minhaj us-Sunnah di Bogor; Farid Okbah, direktur al-Irsyad; Ainul Harits, Yayasan Nida'ul Islam, Surabaya; Abubakar M. Altway, Yayasan al-Sofwah, Jakarta; Ja'far Umar Thalib, pendiri Forum Ahlussunnah Wal Jamaah; and Yusuf Utsman Bais’a direktur al-Irsyad Pesantren, Tengaran.
Sebagaimana ciri umum salafi, generasi 1980-an LIPIA tersebut sangat anti terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dan Darul Islam. Jangankan untuk bergaul dengan mereka yang berorganisasi, dengan sesama salafi yang berorganisasipun mereka menolak untuk dibantu secara keuangan.
Dari generasi 1980-an lahir Ja’far Umar Thalib. Dia adalah lulusan pertama LIPIA dan menjadi perintis pertama gerakan dakwah salafi di Indonesia. Diantara lulusan LIPIA, Ja’far berangkat ke Yaman pada tahun 1991 untuk belajar pada Sheikh Mukbil ibn Hadi al-Wad'i, di Dammaz, Yaman. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Mugbil adalah tokoh salafi puritan. Karakter ini akan menurun pada Jafar. Sedangkan Yusuf Baisa, lulusan LIPIA lainnya, belajar langsung ke Arab Saudi dan belajar dari kalangan syeikh sahwah Islamiyah. Karena as-sahwah terpengaruh Ikhwanul Muslimin, maka pandangan Yusuf Baisa nantinya juga sangat berbeda dengan Jafar.
Sikap Otoriter Kerajaan dan Ulama Wahabi
Gerakan salafi tampaknya belum bisa melepaskan diri dari konflik dan ketegangan politik di Arab Saudi. Ketegangan ini telah berimbas pada terbelahnya gerakan salafi internasional pada dua kubu penting. Pertama, mereka yang berkiblat pada ulama resmi pemerintah. Dalam barisan ini tidak saja ulama-ulama resmi Arab Saudi, melainkan pula jaringan Markaz Imam Albani Jordan dan jaringan Pondok Syeh Muqbil Yaman. Dua jaringan yang mempunyai operasi yang bersifat internasional.
Kedua, mereka yang berkiblat pada ulama yang melakukan oposisi atau bersikap kritis terhadap kerajaan. Salah satu tokoh pentingnya adalah Muhammad Surur bin Zainal Abidin. Dia merasa kecewa dengan sikap pemerintah Arab Saudi atas koalisinya dengan Amerika Serikat terutama dalam kasus Perang Teluk pertama dan kedua.
Muhammad Surur mengecam keras sikap ulama Arab Saudi yang membenarkan keterlibatan Kerajaan dengan Amerika.. Sikap keras ini lantas mendatangkan penentangan yang sengit dari seluruh ulama wahabi. Mereka ramai-ramai mengecam Muhammad Surur sebagai tokoh yang telah keluar dari manhaj salafi karena berani mengkritik ulama dan pemerintah. Akhirnya, Muhammad Surur harus terusir dari Arab Saudi dan kemuadian menetap di Birmingham, Inggris. Muhammad Surur kemudian mengembangkan Yayasan Al-Muntada di Inggris.
Muhammad Surur tidak sendirian. Dia kemudian bersua gagasan dengan Abdurrahman Abdul Khaliq, orang Saudi yang dituduh menikam ulama wahabi atau salafi Saudi, karena mendukung Ikhwanul Muslimin. Abdurrahman Abdul Khaliq kini mengoperasikan Yayasan Ihya'ut Turats dari Kuwait. Pertemuan ini melahirkan poros Birmingham-Kuwait dan melahirkan suatu group baru dalam gerakan salafi internasional. Group ini dikenal dengan sebutan “sururiyah” dan kini menjadi bulan-bulanan kecaman dari group salafi/wahabi resmi.
Tokoh lain dalam barisan Sururiyah ini adalah Salman bin Fahd Al-Audah. Dia adalah ulama wahabi atau salafi Saudi yang dimasukkan ke penjara selama lima tahun (1994 sampai 1999) karena dituduh menentang pemerintah yang sah dengan melakukan protes terhadap tindakan korupsi dan tindakan menyalahi kesusilaan yang dilakukan oleh pemerintah Raja Fahd bin Abdul Aziz dan Putra Mahkota Abdullah bin Abdulaziz al-Saud. Setelah terjadi 11 September 2001, Salman bin Fahd Al-Audah dituduh sebagai penasehat Osama bin Laden oleh pihak Saudi Arabia dan pihak Amerika.
Di samping itu terdapat ulama Aidh Al Qarni. Seorang ulama Saudi yang menentang Yahudi dan Amerika yang dianggapnya sebagai negara yang melakukan teror. Kecaman tersebut dibaca sebagai penentangan terhadap pemerintah dan ulama wahabi resmi yang saat itu menjustifikasi koalisi Amerika-Saudi. Dengan sikap yang anti Amerika dan Yahudi inilah akhirnya pihak ulama wahabi atau salafi Saudi menganggap Aidh Al Qarni sebagai orang yang melecehkan ulama.
Safar bin Abdul al-Rahman al-Hawali adalah ulama wahabi yang menentang kebijakan standar ganda George W. Bush dan menentang kebijakan politik pemerintah Kerajaan, sehingga Safar bin Abdul al-Rahman al-Hawali dianggap melecehkan ulama wahabi atau salafi Saudi.
Muhammad bin Abdullah Al Masari, Ulama Saudi yang merupakan pelopor Hizbut Tahrir di Saudi Arabia, pernah ditangkap dan dipenjara sebagai tahanan politik. Ulama-ulama wahabi atau salafi Saudi menganggap Muhammad bin Abdillah Al Masari menentang dan melecehkan ulama dan dianggap sebagai “khawarij”, karena Muhammad bin Abdillah Al Masari menegaskan bahwa pemerintah Kerajaan Saudi Arabia tidak lagi berhukum dengan al-Alquran dan as-Sunnah.
Takutlah akan Perpecahan!
Fenomena ini muncul, dan sudah menjadi rahasia umum bahwa dengan cara pandang yang jumud dan kaku, mengakibatkan bercerai berainya umat islam. Seharusnya kita paham, perpecahan hanya akan membawa kabar gembira bagi kafir penjajah. Berpikir untuk kemajuan dan persatuan kaum muslim adalah perkara yang lebih penting saat ini.
1. Berpegang teguhlah pada nas-nas yang syar’i, bukan bertaqlid buta atau mengutamakan pendapat para ulama semata.
2. Mengembalikan masalah-masalah “mutasyabihat” (yang kurang jelas) kepada masalah “muhkamat” (yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath’i.
3. Memahami kasus-kasus furu’dan juz’i, dalam kerangka prinsip dan masalah fundamental (ushul).
4. Menyerukan “ijtihad” dan pembaruan (Tajdid). Memerangi “taqlid” dan kebekuan.
5. Mengajak dengan akhlak karimah, bukan meniru prilaku jahiliyah dan ashabiyah.
6. Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan panjang yang tidak menambahkan keimanan.
Wallahu’alam bishowab.
Komentar
Posting Komentar