DALIL WAJIBNYA MENEGAKAN KHILAFAH

DALIL WAJIBNYA MENEGAKAN KHILAFAH





Meski Khilafah merupakan Ajaran Islam namun masih ada sebagian kaum muslimin yang meragukan bahkan menolak terhadap Ide Khilafah.Semoga dengan paparan ini tidak ada lagi kaum muslimin yang berani menolak  Khilafah sebagai Ajaran Islam.Ketikapun ada yang berani semoga saja dia berani pula mempertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.

Sebagai kewajiban dalam Islam, Khilafah tentu didasarkan pada sejumlah dalil syariah. Sebagaimana dimaklumi, jumhur ulama, khususnya ulama Aswaja, menyepakati empat dalil syariah yakni: (1) Al-Quran; (2) As-Sunnah; (3) Ijmak Sahabat; (4) Qiyas Syar’iyyah.

1.Dalil Al Qur'an.

Dalil al-Qur'an antara lain QS an-Nisa` (4) ayat 59; QS al-Maidah (5) ayat 48; dll (Lihat: Ad-Dumaji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Selain itu Allah SWT berfirman:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً…

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh Aku akan menjadikan di muka bumi khalifah…” (TQS al-Baqarah [2]: 30).

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam al-Qurthubi menyatakan bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mengangkat seorang imam atau khalifah. Ia lalu menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat mengenai kewajiban (mengangkat khalifah) tersebut di kalangan umat dan para imam mazhab; kecuali pendapat yang diriwayatkan dari al-‘Asham (yang tuli terhadap syariah, red.) dan siapa saja yang berpendapat dengan pendapatnya serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264).

2. Dalil as-Sunnah.

Di antaranya sabda Rasulullah saw.:

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Siapa saja yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada imam/khalifah), maka ia mati jahiliah.” (HR Muslim).

Berdasarkan hadis di atas, menurut Syaikh ad-Dumaiji, mengangkat seorang imam (khalifah) hukumnya wajib (Ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Lebih dari itu, Rasulullah saw. menegaskan bahwa imam/khalifah atas kaum Muslim sedunia tidak boleh berbilang:

إِذَا بُوْيِعَ لِخَلِيْفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخِرَ مِنْهُمَا

“Jika dibaiat dua orang khalifah maka perangilah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim).

Berkaitan dengan hadis di atas, Imam an-Nawawi berkomentar, “Jika dibaiat seorang khalifah setelah khalifah (sebelumnya), maka baiat untuk khalifah pertama sah sehingga wajib dipenuhi, sementara baiat untuk ‘khalifah’ kedua batal sehingga haram dipenuhi…Inilah pendapat yang benar menurut jumhur ulama.” (An-Nawawi, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahîh Muslim, 12/231).

3. Dalil Ijmak Sahabat.

Perlu ditegaskan, kedudukan Ijmak Sahabat sebagai dalil syariah—setelah al-Quran dan as-Sunnah—sangatlah kuat. Apalagi menurut Imam al-Ghazali, Ijmak Sahabat tidak terkena naskh (penghapusan) (Al-Ghazali, Al-Mustashfâ, 1/14).

Karena itu Ijmak Sahabat jelas tidak boleh diabaikan. Dalam hal ini, Imam as-Sarkhashi menegaskan:

وَ مَنْ أَنْكَرَ كَوْنَ الإِجْمَاعُ حُجَّةً مُوْجِبَةً لِلْعِلْمِ فَقَدْ أَبْطَلَ أَصْلَ الدِّيْنِ… فَالْمُنْكِرُ لِذَلِكَ يَسْعَى فِي هَدْمِ أَصْلِ الدِّيْنِ.

Siapa saja yang mengingkari kedudukan Ijmak sebagai hujjah yang secara pasti menghasilkan ilmu berarti benar-benar telah membatalkan fondasi agama ini…Karena itu orang yang mengingkari Ijmak sama saja dengan berupaya menghancurkan fondasi agama ini (Ash-Sarkhasi, Ushûl as-Sarkhasi, 1/296).

Karena itu pula, Ijmak Sahabat yang menetapkan kewajiban menegakkan Khilafah tidak layak diabaikan seolah-olah tidak pernah ada, atau dicampakkan seakan tidak berharga sama sekali. Tindakan demikian tentu—menurut Imam as-Sarkhasi—sama saja dengan menghancurkan fondasi agama ini.

Berkaitan dengan itu Imam al-Haitami menegaskan:

أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ نَصْبَ اْلإِمَامِ بَعْدَ اِنْقِرَاضِ زَمَنِ النُّبُوَّةِ وَاجِبٌ، بَلْ جَعَلُوْهُ أَهَمَّ الْوَاجِبَاتِ حَيْثُ اِشْتَغَلُّوْا بِهِ عَنْ دَفْنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.

Sungguh para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan upaya mengangkat imam/khalifah sebagai kewajiban paling penting. Faktanya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan menunda (sementara) kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah saw.” (Al-Haitami, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hlm. 7).

Lebih dari itu, menurut Syaikh ad-Dumaji, kewajiban menegakkan Khilafah juga didasarkan pada kaidah syariah berikut:

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

Selama suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu wajib pula hukumnya.

Sudah diketahui bahwa banyak kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan oleh orang-perorang, seperti kewajiban melaksanakan hudûd (seperti hukuman rajam atau cambuk atas pezina, hukuman potong tangan atas pencuri), kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan semua kewajiban ini membutuhkan kekuasaan (sulthah) Islam. Kekuasaan itu tiada lain adalah Khilafah. Alhasil, kaidah syariah di atas juga merupakan dalil atas kewajiban menegakkan Khilafah (Lihat: Syaikh ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 49).

Ijmak Ulama Aswaja

Berdasarkan dalil-dalil di atas—dan masih banyak dalil lainnya—yang sangat terang-benderang wajar jika kewajiban menegakkan Khilafah telah menjadi ijmak para ulama Aswaja, khususnya imam mazhab yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii dan Imam Hanbali). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syaikh Abdurrahman al-Jaziri (w. 1360 H):

إِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ رَحِمَهُمُ اللهُ تَعَالىَ عَلىَ أَنَّ اْلإِمَامَةَ فَرْضٌ…

Para imam mazhab (yang empat) telah bersepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah wajib…” (Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, 5/416).

Hal senada ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, “Para ulama telah sepakat bahwa wajib mengangkat seorang khalifah dan bahwa kewajiban itu adalah berdasarkan syariah, bukan berdasarkan akal (Ibn Hajar, Fath al-Bâri, 12/205).

Pendapat para ulama terdahulu di atas juga diamini oleh para ulama muta’akhirîn (Lihat, misalnya: Syaikh Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, hlm. 88; Dr. Dhiyauddin ar-Rais, Al-Islâm wa al-Khilâfah, hlm. 99; Abdul Qadir Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124; Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir), Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/15; Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 248; dll).

Ulama Nusantara, Sulaiman Rasyid, dalam kitab fikih yang terbilang sederhana namun sangat terkenal berjudul Fiqih Islam, juga mencantumkan bab tentang kewajiban menegakkan Khilafah. Bahkan bab tentang Khilafah juga pernah menjadi salah satu materi di buku-buku madrasah (MA/MTs) di Tanah Air.

Khatimah

Berdasarkan paparan singkat di atas, masih adakah yang berani menolak Khilafah sebagai ajaran Islam?! Jika ada, semoga saja ia berani pula bertanggung jawab di hadapan Allah SWT kelak. Wal ‘iyâdzu bilLâh! []



Sumber:Buletin Kaffah No.22 .17 Rabiul Akhir 1439 H.5 Januari 2018 M.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Menjadi Murid Yang Durhaka

RIBA DALAM ARISAN

Apa itu KHILAFAH ?